Biolog Universitas Airlangga menemukan senyawa antikanker pada buah nona. Butuh penelitian mendalam agar bisa dimanfaatkan.
BENTUKNYA perpaduan antara sirsak dan srikaya. Ukurannya sebesar srikaya, tapi kulitnya seperti sirsak. Itulah buah mulwa atau buah nona (Annona reticulata). Buah ini sudah jarang dijumpai di Indonesia. Karena itulah Hamidah, dosen biologi di Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga, Surabaya, langsung kesengsem begitu menemukan pohon malwa di Pandaan, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur.
Seumur hidup Hamidah belum pernah melihat, apalagi mengamati, wujud pohon buah nona ini. Ia hanya mengenalnya lewat buku. Untuk memperdalam ilmunya tentang pohon langka yang tergolong dalam famili anona, ia pun melakukan riset. Hasil riset itu kemudian disusunnya menjadi disertasi berjudul Biosistematika Annona Muricata L., Annona Squamosa, dan Annona Reticulata dengan Pendekatan Numerik. Disertasi itu mengantarnya meraih gelar doktor di Program Pascasarjana Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 31 Oktober silam.
Disertasi Hamidah merupakan sumbangan penting bagi dunia farmasi dan kedokteran, karena hasilnya menunjukkan bahwa buah nona mengandung senyawa asetogenin (polyketide) dan alkaloid. Senyawa asetogenin berpotensi mengatasi kanker, dan alkaloid dapat mengatasi gagal ginjal.
Melalui riset, Hamidah juga menemukan bahwa buah nona secara genetis identik dengan srikaya. Artinya, srikaya pun berpotensi mengandung obat antikanker. ”Keduanya seperti bersaudara kandung. Sidik jari DNA keduanya persis sama. Demikian juga bahan bioaktif pada alkaloid ekstrak daun kedua tanaman itu,” ujarnya.
Di Indonesia, memang hanya ada tiga dari delapan jenis pohon di famili anona yang bisa hidup, yaitu buah nona, srikaya (Annona squamosa), dan sirsak (Annona muricata). Pohon tersebut tidak hanya bisa tumbuh di dataran tinggi, tapi juga di dataran rendah.
Dulu, pohon buah nona banyak dijumpai di Indonesia, tapi kini sudah langka. Menurut Hamidah, masyarakat enggan menanam dan mengembangkan pohon ini karena jarang berbuah dan rasa buahnya yang berukuran sekepalan tangan itu hambar.
Semula, Hamidah mempelajari kekerabatan antara ketiga buah yang berada dalam satu famili itu. Dia menemukan keragaman ciri fenotipe ketiga tanaman itu pada habitat yang berbeda, tapi tidak diikuti perubahan ragam ciri genotipe dan kedudukan takson atau kategorinya berdasarkan kandungan alkaloid dan flavonoid mereka.
Kekerabatan antara ketiga buah-buahan itu diteliti dengan tiga pendekatan. Pertama, dengan pendekatan ciri morfologis, yakni kesamaan identifikasi sifat atau ciri dari perawakan tanaman, dari bentuk, batang, daun, buah, hingga biji. ”Ternyata semua tanaman nona bentuknya adalah pohon, karena tinggi dan bisa dipanjat,” kata dia. Perbedaan pada karakter morfologis, kata dia, disebabkan habitat ketiga tanaman itu berbeda.
Kedua, pendekatan atas kandungan kimia. Pada tahap ini Hamidah membuat ekstrak daun dari buah nona, lalu memisahkan alkaloid dan flavonoid. Alkaloid adalah senyawa basa bernitrogen yang kadang memberikan efek pengobatan. Sedangkan flavonoid adalah senyawa polifenol yang terkenal karena bermanfaat sebagai antioksidan. ”Unsur pada alkaloid dan flavonoid di srikaya dan buah nona ternyata sama persis, tapi berbeda bila dibandingkan dengan tanaman sirsak,” kata Hamidah.
Pendekatan ketiga dilakukan Hamidah dengan menggunakan identifikasi sidik jari asam deoksiribonukleat (DNA). DNA ketiga tanaman ini, kata dia, tidak bisa berubah meskipun turun-temurun hidup di lingkungan yang berbeda. Informasi genetis ini didapatkan keturunannya dari induknya. Hasilnya, ”DNA srikaya dan buah nona identik,” ujarnya.
Hamidah melakukan tiga penelitian itu pada 2004-2006 di tiga tempat. Riset tentang ciri morfologisnya ia lakukan di laboratorium Universitas Airlangga, Surabaya. Untuk meneliti kandungan kimia dan sidik jari DNA tanaman, dia memanfaatkan laboratorium di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, dan Institut Teknologi Bandung.
Riset tentang buah nona sebenarnya kelanjutan dari penelitian Hamidah terhadap srikaya sewaktu hendak meraih gelar master. Waktu itu ia menyelidiki kandungan insektisida (pembunuh serangga) pada tanaman tersebut. Dari risetnya diketahui bahwa buah nona mempunyai manfaat paling besar sebagai bioaktif pembunuh dibandingkan dengan kedua tanaman lainnya. Ia mencontohkan, jika kulit pohon buah nona dimasukkan ke kolam, ikan akan mati. Demikian halnya jika getah tanaman buah nona disuntikkan ke kaki katak, kaki katak jadi lumpuh. ”Senyawa asetogenin pada batang dan getah berpotensi membunuh sel kanker,” katanya menyimpulkan.
Hamidah mengatakan buah nona tidak beracun meskipun batang dan getahnya berpotensi racun kalau dikonsumsi hewan, karena reaksi bioaktif tanaman pada hewan berbeda jika dikonsumsi oleh manusia. ”Kalau dikonsumsi hewan mungkin bisa membuat keracunan, tapi tidak untuk manusia,” ujarnya.
Adanya kandungan senyawa asetogenin dan alkaloid tersebut, kata dia, menjadikan buah nona sebagai salah satu komoditas pangan yang bernilai lebih dan berpotensi dimanfaatkan untuk kesehatan masyarakat.
Masalahnya, kajian mendalam mengenai senyawa-senyawa tersebut belum muncul di Indonesia. Promotor Hamidah, Profesor Santosa, guru besar emeritus Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada, pun menyatakan temuan senyawa asetogenin dan alkaloid itu masih bersifat potensial. ”Perlu kajian mendalam tentang hal itu. Tapi ilmu spesifik yang cocok untuk mempelajarinya, ya, ilmu kedokteran atau farmasi, bukan biologi,” kata dia.
Latifah K. Daruman, Kepala Pusat Studi Biofarmaka Institut Pertanian Bogor, belum bisa memastikan khasiat buah nona tersebut bila studi yang dilakukan baru berupa studi literatur dan penentuan unsurnya. ”Secara umum, kalau baru tahu unsurnya, belum bisa dibuktikan manfaatnya. Ia harus diuji dengan hewan percobaan dan uji klinis terlebih dahulu,” kata Latifah.
Pusat Studi Biofarmaka telah meneliti pelbagai jenis tanaman obat, seperti tabat barito dan mahkota dewa. Kandungan senyawa dalam mahkota dewa berpengaruh pada penguatan sel, sehingga dapat membangun sistem daya tahan tubuh terhadap penyakit.
Biofarmaka juga menemukan bahwa kandungan berbagai senyawa dalam tabat barito, tumbuhan yang mereka temukan di Bukit Bangkirai, Kalimantan Timur, bermanfaat menghambat proses penggumpalan darah sehingga berguna untuk kesehatan wanita serta melawan beberapa jenis kanker. ”Hasil penelitian terhadap tanaman-tanaman ini telah sampai pada tahap pengujian dengan hewan percobaan,” kata Latifah.
Latifah mengakui bahwa banyak penelitian menemukan kandungan bermanfaat pada berbagai tumbuhan obat yang telah lazim digunakan dalam kesehatan. Namun, ”Pemakaian herbal itu selama ini masih sebagai tambahan atau suplemen,” kata Latifah.
Kurniawan, Dini Mawuntyas, Pito Agustin Rudiana
http://majalah.tempointeraktif.com
Selasa, 14 Juni 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar