Universitas Airlangga (Unair) dan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr Soetomo Surabaya mengadakan penelitian preklinis terhadap ekstrak daun jambu biji (psidium guajava) untuk pengobatan penyakit demam berdarah (DB). Herbal ekstrak daun jambu biji itu mampu menaikkan jumlah trobosit penderita DB.
"Ada tiga faktor yang diambil manfaatnya dari ekstrak jambu biji ini, yaitu sebagai antivirus, mengurangi risiko kebocoran plasma dan dapat mengatasi trombositopenia," kata dr Suprapto Ma'at dari laboratorium Patologi Klinik FK Unair/RSUD Dr Soetomo, kepada wartawan Selasa (9/3) di Jakarta.
Menurut Suprapto yang telah melakukan uji preklinis ekstrak daun jambu biji, keampuhan daun jambu biji itu karena mengandung kelompok senyawa tanin dan flavonoid yang dinyatakan sebagai quersetin. Senyawa tersebut, lanjutnya, berkhasiat sebagai obat antivirus dengue.
"Senyawa tanin dalam ekstrak daun jambu biji ini dapat menghambat aktivitas enzim reverse trancriptase yang berarti menghambat pertumbuhan virus yang berinti RNA. Kami telah melakukan uji in vitro pada mencit. Ekstrak daun jambu biji ini juga telah diberikan kepada 50 pasien DB dewasa di RS Syaiful Anwar Malang pada 1999 lalu," jelasnya.
Hasilnya, kata Suprapto, terjadi kenaikan trombosit cukup signifikan selama 24-48 jam. Hal itu bisa dilihat dari meningkatnya megakariosit pada sumsum tulang belakang. Megakariosit merupakan dapurnya atau tempat memproduksi trombosit di sumsum tulang belakang.
"Bila megakariosit meningkat maka trombositopenia bisa dihindarkan. Penelitian terhadap mencit yang diberikan ekstrak daun jambu biji secara oral telah membuktikan, herbal tersebut mampu menurunkan permeabilitas pembuluh darah. Dan dari uji keamanan (toksisitas) ekstrak daun jambu biji termasuk zat yang praktis tidak toksik."
"Pemberian jus jambu merah bisa dilakukan karena penderita DB membutuhkan banyak cairan. Berikan cairan apa saja yang disukai pasien tersebut termasuk jus jambu. Tetapi, porsi untuk jus jambu ini dalam sehari 1- 2 liter, tentunya jambu yang digunakan untuk jus jauh lebih banyak. Berbeda dengan ekstrak daun jambu biji ini telah dibuat dalam bentuk kapsul ukuran 55 mm."
Pemberian ekstrak daun jambu biji ini, katanya, diberikan bersama-sama dengan pemberian cairan infus pada pasien DB.
Kendala
Lebih lanjut Suprapto mengatakan meskipun penelitian telah dilakukan sejak 1999 tetap saja ada kendala. "Masalahnya pada waktu ekstrak daun jambu biji ini ditawarkan ke rumah sakit, para dokter masih menganggap itu jamu bukan obat. Maka untuk menjadi vito farmaka diperlukan uji klinis pada manusia agar nantinya bisa menjadi obat antivirus dengue."
Dalam pemberian ekstrak daun jambu biji ini hanya dikhususkan kepada pasien DB yang mengalami syok atau perdarahan. "Kalau hanya demam dengue saja cukup diberikan cairan dan dalam lima sampai tujuh hari bisa sembuh. Tetapi, untuk pasien DB yang mengalami perdarahan, perawatannya juga berbeda," kata Prof dr Sugeng Sugijanto dari FK Unair Surabaya.
Menurut pakar penyakit DB dari Tropical Desease Center FK Unair ini, apabila terdapat pasien DB yang mengalami perdarahan dan trombositnya turun di bawah 20.000, maka harus segera diberi pertolongan. "Bila terlambat memberikan pertolongan akan terjadi penyumbatan di mana-mana. Bahkan, telah ditemukan kasus anak berusia 8 tahun yang terlambat ditolong mengalami stroke karena ada penyumbatan kecil di otak," jelas Sugeng yang bersama dr M Nasirudin, dr Ugrasena untuk pasien DB anak, serta Prof dr Edy Soewandojo untuk pasien DB dewasa akan memulai uji klinis selama setahun.
Dalam kesempatan yang sama Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM) Sampurno menilai penanganan pasien DB dewasa ini masih bersifat suportif, yaitu mengatasi kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas pembuluh darah kapiler. Sedangkan pada DB yang menyebabkan perdarahan atau kasus tertentu dokter akan memberikan trombosit bila diperlukan.
"Dengan adanya penelitian dari Fakultas Kedokteran dan Fakultas Farmasi Unair ini diharapkan akan segera ada obat herbal antidengue yang lulus uji klinis. Biaya preklinis sebesar Rp500 juta sedangkan biaya uji klinis sebesar Rp760 juta. Semua itu ditanggung negara," kata Sampurno. (Nda/V-1)
Sumber : Media Indonesia, Jum'at 12 Maret 2004
Sumber : http://www.gizi.net/cgi-bin/berita/fullnews.cgi?newsid1079078654,97300,
Rabu, 22 Juni 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar